topbella

Selasa, 26 Maret 2013

Dua Fragmen

Fragmen #1Menerjemahkan (teks Arab)Di sebuah bangku coklat, di akhir pekan mereka memanggul ransel dan menjinjing tas berisi kamus menuju kampus. Di akhir pekan memang tidak ada perkuliahan, tetapi mereka bermaksud menyelesaikan kewajiban. Senyum sumringah terbagi membawa atmosfir semangat yang berarti dan luar biasa. Mereka mengambil posisi, duduk, lalu mengeluarkan catatan, buku sakti berjenis Morfologi, Sintaksis, dan Komposisi. Satu per satu soal dikupas tuntas bersama. Aktivitasnya seputar bolak-balik buka kamus, identifikasi pola kalimat, harakat, identifikasi asal kata, jenis kata, frasa lalu menerjemahkannya. Tak jarang harus menengok ‘a dictionary arabic grammar’ atau buku-buku ‘ajaib’ lainnya untuk memastikannya dan mengurangi peluang banyaknya kesalahan penerjemahan. Ya, itulah usaha mereka untuk mempelajari salah satu bahasa-bahasa yang ada di dunia, Bahasa Arab.Fragmen #2Seorang perempuan bertanya pada seorang anak kecilA: ‘Ummimu kemana Dek?’B: ‘Ummiku di rumah.’Seorang cewek duduk di serambi sebuah Masjid Kampus di sapa oleh seorang ‘ahwat’A: bisakah anaa duduk di samping anti?C: bisa, silakan.*sambil sedikit bergeserA: JazaaC: *mlongo, muka bodoh***Terasa kontras, saat ada beberapa dari mereka mempelajari Bahasa Arab dengan usaha yang tidak mudah. Di sisi lain, banyak kesalan-kesalahan yang sudah membudaya. Kosakata-kosakata berbahasa Arab yang banyak bermunculan ‘ummiku, ummimu, umminya, abiku, abimu, abinya’ secara pribadi, saat saya mendengarnya benar-benar menimbulkan kontras adal otak saya. Di otak saya memproses,  ‘abi’ yang berarti ayahku, yang telah memiliki tanda  kepemilikan -ku, mengapa harus ditambah lekatan kepemilikan -ku, -mu, -nya?  Begitu juga dengan ‘umi’. Secara otomatis, saya pun menerjemahkan (misal) ‘umminya’ yang berarti ibukunya.Realitanya adalah, kata-kata itu bergeser menjadi kata umum, misal ‘ummi’ ya artinya sekadar ibu tanpa lekatan -ku, karena itu muncul kata ‘ummiku, ummimu, umminya’ padahal kata-kata ini belum diakui secara resmi sebagai Ejaan Yang Disempurnaan. Fenomena ‘ngarab’ ini seakan-akan hanya menjadi simbol identitas (golongan) yang menerapkannya.Lalu kata jazaa, jika biasanya ‘terimakasih’ diucapakan dengan kata jazakumullah/jazakillah/jazakallah, maka otak saya ini masih bisa menerima maksud penutur bahwa ia mengucapakan terimakasih yang diselipkan dalam sebuah doa akan tetapi jika itu hanya diucapkan ‘jazaa’ maka otak saya menerima ucapan itu yang berarti ‘membalas/balasan’. Dalam benak saya ketika ada yang mengucapkanjazaa, saya pun bertanya ‘nih orang bilang ‘membalas’ untuk apa? untuk siapa?’Lalu, apakah susah menyebutkan dalam bentuk sempurna jazakallah/jazakillah/jazakumullah ahsanal jazaa atau mungkin cukup jazakallah/jazakillah/jazakumullah dan tolong jangan didiskon lagi.

Ayolah, jika mengaku cinta dan suka dengan bahasa Arab, pelajari dan gunakan sesuai kaidah dan aturan main yang benar.

*ngusap pipi :’( 

Memangkas Jarak

Sudah beberapa lama saya berpikir tentang jarak. Jarak yang memang benar-benar nyata, yang bisa dikalkulasi dengan angka dan 'jarak' yang kasat mata. Saya memikirkan saat saya membuka kembali sebuah Schedule Book  yang telah satu tahun saya biarkan kosong dan berniat mengisinya kembali. Saya tiba di lembar kolom 21 April 2012 yang tertulis 'Ultah Om Wasis' sekaligus teringat saat-saat malam minggu itu. Tepatnya, tanggal itu adalah dimana saya sedang masa-masa pengabdian di masyarakat. Saya memanfaatkan perijinan menginap yang terbatas untuk kembali ke Jogja karena harus kontrol ke dokter gigi. Durasi penantian itu, saya menghabiskan quality time dengan penuh suka cita bersamanya. Ia, sosok yang hari itu berulangtahun, rela memangkas jarak Ngawi-Jogja hanya untuk bertemu dengan saya sembari menikmati makan malam sederhana di pinggir jalan lalu pulang ke Ngawi setelah makan malam dirasa usai. Ia benar-benar memangkas jarak. Tahun lalu adalah yang terakhir untuk saya menikmati momen hadiah makan bersama dari memangkas jarak yang ia lakukan.
Akhir-akhir ini, karena kerinduan padanya semua memori terpanggil tanpa saya bisa menghentikannya. Mengingatnya dan merasai candu bernama rindu. Lagi-lagi saya teringat tentang rumusan 'memangkas jarak' yang saya rumuskan sendiri ketika saya sedang ingin iseng untuk berpikir dan ketika itu saya sangat merindukannya.
Ia, sosok yang saya sapa dengan panggilan Om yang sebenarnya memiliki pertalian darah sepersusuan, yang memiliki jarak usia yang tak lagi dekat tetapi ia memangkas jarak bernama usia dan masa untuk menghadapi cerita dan keluh saya, sekaligus sahabat bagi saya. Ia, yang dua minggu sebelum kepergiannya, mengajak saya diskusi untuk (calon) tesisnya, lagi-lagi, ia memangkas jarak. Ia yang S2 dengan segala pengalaman di bidangnya dan saya yang hampir purna S1 yang masih bau kencur. Ia yang memutuskan masuk magister hukum dan saya mempelajari tentang budaya, sastra, dan bahasa. Ia memangkas jarak di dua bidang yang berbeda. Dari diskusi yang tidak singkat dan berlangsung beberapa hari face to face maupun telpon, ia pun mendapatkan judul dan mendapat hadiah sebuah rasa senang karena judul (calon) tesisnya diterima.

Ia yang suka memangkas jarak usia dan masa, lalu memosisikan ia sebagai yang pernah muda, yang rela saya jadian tempat dimana saya ingin 'nyampah' dalam bentuk apapun. Ia yang rela memangkas jarak ketika dulu sewaktu saya kecil saat makan siang berebut piring seng dengan saya, meskipun pada akhirnya ia mengalah dan merelakan piring seng itu. Kelak, piring itu adalah milik saya. Saya menyimpannya untuk mengenangnya.
Memangkas jarak, jarak yang memang dalam bentuk angka yang bisa dikalkulasi serta diperhitungkan, berapa kecepatan yang dibutuhkan agar sampai di tempat tujuan lalu kembali ke tempat semula dengan perhitungan yang detail atau mencari pilihan jalan lain untuk bisa ekstra memangkas jarak dan 'jarak' dalam bentuk maya, yang angka tak bisa mendeskripsikannya. Jarak yang jauh dengan waktu tempuh yang tidak sebentar pun ia memangkasnya untuk memangkas 'jarak' yang lain. 'Jarak' maya dalam bentuk berupa hubungan, hubungan kekerabatan, hubungan persahabatan.

Dalam sebuah hubungan pun ada 'jarak' yang ketika kita berani 'memangkasnya' maka hubungan itu akan semakin erat. Kekerabatan dekat sekalipun pun tanpa kita memangkas jarak juga akan terasa jauh, canggung dengan saudara sendiri. Banyak jalan untuk memangkas jarak, dengan komunikasi sekedar bertanya kabar, menemui, tersenyum, makan, dan banyak lagi kejutan-kejutan kecil untuk kita bisa hadirkan demi memangkas jarak. Lalu, saya pun tersadar, bahwa candu rindu saya padanya karena hasil kerja kerasnya memangkas jarak dengan saya. Ya, seharusnya memang seperti itu kita memperlakukannya, memangkas jarak.

Mengenai Saya

Foto saya
Ngawi, Jawa TimuR, Indonesia
Bukan dari tulang ubun ia diciptakan, Sebab berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja, Tak juga dari tulang kaki karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak. Tetapi dari rusuk kiri dekat ke hati untuk dicintai. Dekat ke tangan untuk dilindungi.