"Mbak, ini fotomu waktu masih kecil?"
"Iya, kenapa?"
"Sangat cantik."
Tak sengaja aku masuk ke kamar temanku, Mbak Ning saat dia merapikan kamarnya. Kulihat selembar foto di atas meja belajarnya. Foto masa kecilnya. Sangat tertutup. Dia telah berkerudung sejak kecil. Sangat cantik. "Apakah aku punya foto yang sama seperti Mbak Ning saat aku kecil?", lirihku.
"Iya, kenapa?"
"Sangat cantik."
Tak sengaja aku masuk ke kamar temanku, Mbak Ning saat dia merapikan kamarnya. Kulihat selembar foto di atas meja belajarnya. Foto masa kecilnya. Sangat tertutup. Dia telah berkerudung sejak kecil. Sangat cantik. "Apakah aku punya foto yang sama seperti Mbak Ning saat aku kecil?", lirihku.
***
Selalu seperti itu. Tiap kali putriku pulang, selalu kudapati ia dalam waktu luangnya, tidur tengkurap di lantai kamarnya, mengangkat kedua kakinya dan mengadunya satu sama lain, ditemani bantal dan 'bed cover' kesayangannya sambil membaca, serta alunan musik yang memeriahkan suasana kamarnya, entah apa yang dibacanya. Kemudian dia akan berbicara sendiri, mengomentari apa yang dia baca. Kubiarkan saja seperti itu karena tak setiap hari aku melihatnya. Tetapi kali ini berbeda, kulihat dia tak membaca melainkan melihat album-album foto. Sangat asyik kelihatannya. Tetap kubiarkan dia bersama dunianya. Aku hanya diam tanpa kata di tempatku berdiri. Tanpa kusadari, ingatan itu hadir tanpa permisi.
"Bunda, aku ikut tari di sekolah untuk acara perpisahan kakak-kakak kelas nol besar besok."
"Benarkah? Ikut tari?"
"Hmm...", dengan anggukan penuh kemantapan.
"Kata Bu Qonik, suruh bawa selendang dan kipas. Bunda belikan selendang dan kipas yaa?"
"Iya, nanti kita beli."
"Yang bagus yaa Bunda."
"Iya.."
"Yang warnanya merah."
"Iya, nanti kamu pilih sendiri."
Sentuhan tangan suamiku memaksaku mengakhiri pengembaraan masa lalu.
"Ayah, lihat putri kita. Aku tak menyangka jika dia akan seperti sekarang. Ayah ingat saat dia kecil, dia ingin sekali menjadi penari atau balerina. Dia selalu menari. Dia ingin memakai gaun balerina itu. Menari di atas panggung dengan alunan musik klasik. Ayah ingat?"
"Iya, aku ingat. Dia sangat centil. Dia akan marah jika pita dan baju yang kau pilih tak sama. Iya kan?"
"He-em..."
"Ayah, Bunda temani aku...", teriaknya.
"Apa yang kau lakukan, Yang?"
"Bunda, coba lihat, apa ini aku?"
"Iya. Memangnya apa yang sedang kau cari?"
"Aku ingin foto masa kecilku sama seperti foto masa kecil temanku di asrama, Bunda. Tapi aku tak mendapatkannya. Apa Bunda menyimpannya untukku?"
"Foto seperti apa?", jawab kami serentak.
"Foto seperti aku yang sekarang Bunda, yang pake jilbab. Ada?"
Aku hanya diam. Suamiku hanya tersenyum padaku. Kutangkap isyarat agar aku bicara jujur padanya.
"Maafkan Bunda, Sayang. Bunda membesarkanmu jauh dari aroma surga. Bunda membesarkanmu hanya dengan dunia. Maafkan kami yang berbeda dengan orangtua yang lain dimana mereka bisa mengajari dan menemani anak-anaknya merenda waktu di atas sajadah panjang. Memulai dengan syahadatain dan mengakhirinya dengan salam. Membaca surat-surat cinta dari Izzati Rabbi di setiap waktu-waktu mereka. Kami pun juga masih belajar untuk berbenah. Maafkan kami, Sayang..."
"Bunda, tak ada yang salah jika aku tak memiliki apa yang dimiliki oleh teman-temanku. Tak kan kupinta lagi apa yang tak ada dan apa yang telah lalu. Bunda, jangan ucapkan kata maaf lagi karena tak ada yang salah. Apa pun yang Ayah dan Bunda beri padaku itu adalah ni'mat dan anugerah terindah. Aku juga punya apa-apa yang tidak mereka miliki. Aku sayang Bunda dan Ayah karena Allah. Aku bangga memiliki kalian."
Dia mencium tanganku. Mencium pipiku dan memelukku. Hanya rasa sesal yang tertinggal.
"Bunda, aku ikut tari di sekolah untuk acara perpisahan kakak-kakak kelas nol besar besok."
"Benarkah? Ikut tari?"
"Hmm...", dengan anggukan penuh kemantapan.
"Kata Bu Qonik, suruh bawa selendang dan kipas. Bunda belikan selendang dan kipas yaa?"
"Iya, nanti kita beli."
"Yang bagus yaa Bunda."
"Iya.."
"Yang warnanya merah."
"Iya, nanti kamu pilih sendiri."
Sentuhan tangan suamiku memaksaku mengakhiri pengembaraan masa lalu.
"Ayah, lihat putri kita. Aku tak menyangka jika dia akan seperti sekarang. Ayah ingat saat dia kecil, dia ingin sekali menjadi penari atau balerina. Dia selalu menari. Dia ingin memakai gaun balerina itu. Menari di atas panggung dengan alunan musik klasik. Ayah ingat?"
"Iya, aku ingat. Dia sangat centil. Dia akan marah jika pita dan baju yang kau pilih tak sama. Iya kan?"
"He-em..."
"Ayah, Bunda temani aku...", teriaknya.
"Apa yang kau lakukan, Yang?"
"Bunda, coba lihat, apa ini aku?"
"Iya. Memangnya apa yang sedang kau cari?"
"Aku ingin foto masa kecilku sama seperti foto masa kecil temanku di asrama, Bunda. Tapi aku tak mendapatkannya. Apa Bunda menyimpannya untukku?"
"Foto seperti apa?", jawab kami serentak.
"Foto seperti aku yang sekarang Bunda, yang pake jilbab. Ada?"
Aku hanya diam. Suamiku hanya tersenyum padaku. Kutangkap isyarat agar aku bicara jujur padanya.
"Maafkan Bunda, Sayang. Bunda membesarkanmu jauh dari aroma surga. Bunda membesarkanmu hanya dengan dunia. Maafkan kami yang berbeda dengan orangtua yang lain dimana mereka bisa mengajari dan menemani anak-anaknya merenda waktu di atas sajadah panjang. Memulai dengan syahadatain dan mengakhirinya dengan salam. Membaca surat-surat cinta dari Izzati Rabbi di setiap waktu-waktu mereka. Kami pun juga masih belajar untuk berbenah. Maafkan kami, Sayang..."
"Bunda, tak ada yang salah jika aku tak memiliki apa yang dimiliki oleh teman-temanku. Tak kan kupinta lagi apa yang tak ada dan apa yang telah lalu. Bunda, jangan ucapkan kata maaf lagi karena tak ada yang salah. Apa pun yang Ayah dan Bunda beri padaku itu adalah ni'mat dan anugerah terindah. Aku juga punya apa-apa yang tidak mereka miliki. Aku sayang Bunda dan Ayah karena Allah. Aku bangga memiliki kalian."
Dia mencium tanganku. Mencium pipiku dan memelukku. Hanya rasa sesal yang tertinggal.
***
Kau beruntung Mbak Ning dan aku jaga beruntung dengan apa yang kumiliki. Tak ada yang salah dengan masa laluku. Ini adalah skenario Tuhan yang harus berjalan dan dijalani. Tak ada yang salah.
El Firdaus zone, Februari 2008
Dalam suasana hangat menyambut datangnya "rememberance"
Dalam suasana hangat menyambut datangnya "rememberance"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar